Rabu, 15 November 2017


TRADISI “TULAK BALA”
ANTARA BAHASA, BUDAYA, DAN FILOSOFIS

Siang itu, tepat pada hari Rabu jam 14.00 wib seorang pria separuh baya menjemputku ke rumah. “Pak, semua sudah siap, dan acara siap untuk dimulai.” Itulah pesan yang dibawanya agar saya bersegera untuk menghadirinya. Memang benar, di bibir pantai Pelabuhan Barus itu masyarakat telah berbondong-bondong dan sebagian lagi telah duduk bersila di atas hamparan tikar. Mereka terdiri dari anak muda, orang tua, dan anak-anak. Tikar-tikar itu persis berada dalam naungan taratak yang terususun atas 2 kelompok. 
“Assalamu “alaikum…” salam saya menyapa kerumunan yang sejak beberapa jam tadi telah menunggu. “Alaikum salam…” serentak menjawab salam saya seraya kami saling berjabat tangan. Sudah jam 14.15, gumam saya sambil melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiri saya. “Ayolah…, Mari kita mulai. Setelah dibuka pengantar oleh protokol, dua orang maju menuju arah Barat. Keduanya melekatkan kedua jari tangan ke telinga masing-masing. “Allahu Akbar, Allahu Akbar”….. rupanya mereka mendapat tugas azan. Duet azan ini terus berkumandang sampai lantunan lafaz azan terakhir.
Setelah azan selesai, keduanya duduk kembali ke tempat semula. Beberapa pemuda mulai membagikan kitab Yasiin kepada seluruh yang hadir. Imam mesjid yang memimpin bacaan yasin memandu hadirin dari awal sampai akhir. Bacaan Yasiin selesai dilanjutkan dengan Takhtim, Tahlil, dan diakhiri dengan do’a. Semua nampak khidmat sejak azan hingga do’a. Pembacaan do’a selesai, maka kaum ibu yang dari tadi telah membawa panganan nasi berserta lauk pauknya ditambah dengan makanan ringan (Juadah) mulai mendistribusikannya ke dalam piring yang juga telah mereka bawa dari rumah.
Pemuda-pemuda yang siap siaga melaksanakan tugasnya dalam membagikan makanan itu secara merata ke seluruh hadirin. Semua sajian telah siap dan lengkap, pembawa acara mempersilahkan hadirin untuk menyantapnya. Sambil berkelakar senang dan penuh persaudaraan semua riang gembira diselai dengan gelak tawa. Kaum ibu dengan senang hati tampak dari raut wajah mereka melihat hasil masakan mereka dinikmati bersama. Mereka ikhlas mempersiapkan hidangan tanpa memperhitungkan berap biaya yang harus dirogoh untuk membeli bahan-bahan makanan. Ada gulai ayam, gulai ikan, sayur ubi tumbuk, goreng balado, dan bermacam kue basah lainnya.
Setelah semua acara rampung, maka dua orang yang tadi melantunkan azan kembali meyuarakan azan sebagai azan penutup. Setelah itu, acara disambut dengan pidato. Saya yang diminta untuk menyampaikan pidato sambutan mewakili masyarakat setempat. Sapaan penghormatanpun diucapkan sebab turut hadir dalam acara itu Camat, Kapolsek, Danramil, dan tokoh masyarakat setempat.
Itulah rentetan acara “Tulak Bala” yang tadi dilaksanakan….




Beberapa Kajian Tentang “Tulak Bala”.   

1.   Makna “Tulak Bala” versi Bahasa.
Tulak Bala terdiri atas dua kata, yakni; Tulak mengandung arti “tolak”. Dalam bahasa Indonesia: sorong, dorong, (KBBI, 2005: 1203) menepis, mendorong, tidak mau menerima. Bala mengandung arti: malapetakan, kemalangan, cobaan (KBBI, 2005:95) musibah yang menimpa, balasan atas perbuatan tidak baikn atau kejadian buruk yang tidak dikehendaki. Jadi kalau diartikan secara bebas, maka “Tulak Bala” itu mengandung arti: menolak atau menepis setiap musibah atau kejadian buruk yang tidak dikehendaki akan menimpa diri.
Secara kasat makna Tulak Bala yang banyak difahami adalah menolak bala atau musibah yang akan ditakdirkan oleh Allah SWT. Sehingga dari definisi yang mentah ini banyak menimbulkan berbagai asumsi menjurus kepada bentuk penolakan atas takdir yang telah ditentukan-Nya. Seolah-olah kegiatan tradisi “Tolak Bala” adalah rutinitas sekelompok orang yang bersama-sama menolak bala yang akan diturunkan bagi manusia. Dampak dari pengertian ini, bermunculanlah anggapan yang menolak tradisi ini.
Anggapan ini bukan tidak berdasar, harus diakui bahwa Allah SWT Maha Tahu dan Maha Berkehendak atas segala apa yang diinginkannya. “Kun Fayakun”  (Q.S. Yaasiin: 82). Tidak seorangpun sanggup untuk menolak setiap takdir yang telah ditetapkan Allah SWT. Dengan dasar ini maka anggapan “Tulak Bala”  dinisbahkan dengan menolak takdir Allah (Q.S. Al-Hadid: 22).

2.   Memaknai hakikat “Tulak Bala
Mengulas tradisi ini, ada beberapa unsur kajian yang harus didudukkan secara proporsional. Unsur-unsur itu berangkat dari beberapa pertanyaan: apa tujuan (niat) dari tradisi ini? Apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini? Dimana tempat dilaksanakannya tradisi ini? Siapa saja yang melaksanakan tradisi ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, yang pertama adalah apa tujuan kegiatan itu? jawabnya tentu bertolak dari niat. Berpedoman kepada hadis “Innamal a’malu bin niyyat”. Dalam kajian Islam, niat merupakan kunci utama diterimanya ibadah seseorang. Kalau niatnya baik dan ditujukan untuk kebaikan, maka nilai pahala yang akan didapat, jika niatnya tidak baik dan akan mendatangkan kerusakan maka dosa yang akan diperoleh. Jadi apa yang menjadi niat tradisi “Tulak Bala” itu? Mari pahami Q.S. Arrum: 41  yang menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di darat dan dilaut adalah akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Ini mengandung makna bahwa manusialah penyebab yang menjadikan berbagai kerusakan  terjadi. Erosi, banjir, kebakaran, hama, dan berbagai peristiwa lainnya adalah akibat ketidak seriusan manusia dalam melestarikan alam (Q.S. Al-Baqarah: 30). Manusia tidak mau memperbaiki diri atas nikmat yang diberikan Allah lewat fasilitas alam sebagai sumber kehidupannya. Yang mengundang peristiwa itu adalah perbuatan manusia itu sendiri. Maka dari itu hakikat tradisi “Tulak Bala” ada mengandung tiga unsur; yakni pertama, menolak diri (berdamai dengan diri sendiri) untuk tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan diri dan alam. Kedua, menolak diri untuk tidak melakukan perbuatan yang akan merusak hubungan dengan sesama manusia (berdamai dengan sesama). Ketiga, menolak diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merusak alam sekitarnya dimana dia berada dan dimana tempat dia mencari nafkah (berdamai dengan alam). Jadi hakikatnya “Tulak Bala” adalah menolak diri dari keburukan bagi diri, manusia lainnya dan alam serta mendekatkan diri dengan Sang Khaliq agar terjalin hablun minallah dan hablun minannas (Q.S. Ali Imran: 103).
Pertanyaan yang kedua adalah, apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tradisi “Tulak Bala” ini? Pada awal tulisan ini telah diuraikan kegiatan yang dilakukan mulai dari awal hingga selesainya kegiatan. Dimulai dengan azan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan ditutup dengan do’a. Mengapa harus azan? Kebiasaan yang apabila terjadi sesuatu yang dahsyat dan membahayakan dalam bentuk kejadian besar seperti banjir, kebakaran, longsor besar, maka hadapilah dengan azan. Azan itu adalah kalimat thayyibah yang mengajak kepada shalat. Apabila terjadi sesuatu yang membuat kita susah, maka shalatlah (Q.S. Al Baqarah: 45).
Kegiatan lain dalam tradisi ini adalah membaca surat Yassin yang merupakan bacaan yang rutin dibaca umat Islam. Membaca Al-Qur’an selain ibadah juga memberikan ketenangan jiwa apalagi secara bersama-sama (Q.S. Al Qiyamah: 18 dan Q.S. Al-A’raf: 204). Diakhiri dengan do’a sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT (Q.S. Al Baqarah: 186). Selaku hamba Allah SWT yang dhaif pertolongan Allah SWT salah satu jalan mutlak sebab Dia-lah yang disembah. (Q.S. Al-Fatihah: 4).
Untuk pertanyaan ketiga adalah dimana kegiatan tradisi “Tulak Bala” ini dilaksanakan? Jawabannya adalah kegiatan ini dilaksanakan di tepi pantai. Mengapa harus di tepi pantai? Untuk menjawab pertanyaan ini mari simak ayat Q.S. Arrum: 41 yang menyatakan bahwa keruskan di darat dan di laut atas perbuatan tangan manusia itu sendiri. Memahami ayat ini pantai yang bersih dijadikan tempat sebagai tempat yang tepat. Ada dua alasan yang menjadi landasan utama mengapa di pantai. Pertama, tradisi ini banyak dilakukan masyarkat pesisir pantai yang bernata pencaharian nelayan hidup dari hasil laut. Artinya, Apa yang menjadi sumber mata pencaharian harus dicintai agar bisa menyatu dengan diri sehingga kedekatan diri dengan alam menjadi sebuah semangat dalam bekerja. Tapi meskipun demikian tetap menomorsatukan Sang Pencipta alam itu sendiri.(Q.S. Al-Jum’ah: 10). Kedua, berjamaah dalam melaksanakan sebuah kegiatan yang baik tentu memberikan semangat dan kebersamaan. Ukhuwah Islamiyah menjadi sarana utama dalam menciptakan iklim kehidupan (Q.S. Al-Hujarat: 10). Disinilah terbentuk kerukunan dalam bermasyarakat (Q.S. Ali Imran: 103) yang diikat dengan hablun minallah dan hablun minannas saling berbagi, saling memberi atas segala kucuran rezki yang diberikan Allah SWT. Alam ini diciptakan Allah SWT sebagai sarana untuk beribadah, bekerja, belajar, hingga manusia menyelesaikan tugasnya di muka bumi ini.
Pertanyaan yang ketiga adalah: siapa saja yang melaksanakan “Tulak Bala” ini?  Yang ikut dalam pelaksanaan tradisi ini adalah muslim. Dan tradisi ini hanya ada di wilayah pesisir pantai yang beragama Islam. Yang bukan Islam tidak dibenrkan mengikuti kegiatan ini. Sebab penekanan dalam tradisi ini adalah sekaligus saling mengingatkan agar tetap beriman kepada Allah SWT dan tetap berpegang teguh atas ibadah Islam (Q.S.Ali Imran: 102).

3.   Filosofis Tradisi “Tulak Bala
Sejarah tradisi “Tulak Bala” sudah dilaksanakan secara turun temuurun dari generasi ke generasi apalagi daerah pesisir pantai. Dari demografisnya kalau dilihat dari kebiasaan masyarakat mulai daerah Aceh, pantai Barat Sumatera Utara hingga Sumatera Barat merupakan wilayah yang mempunyai tradisi yang sama baik adat istiadat, pakaian adat hingga kegiatan keagamaan. Tentu saja adat kebiasaan ini tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada berbagai landasan berfikir untuk menciptakan sebuah kegiatan. Kehidupan yang bersandar kepada laut sebagai pokok mata pencaharian harus dilestarikan. Sama halnya dengan petani yang pokok mata pencahariannya harus melestarikan sawah atau kebunnya. Pedagang juga demikian, harus melestarikan pabrik, kedai, toko, dan perusahaannya agar tetap menjiwa dan dekat secara psikologis.
Apabila tidak menjiwai pekerjaan dan tempat kerja, maka tentu usaha tidak maksimal. “Jiwai dan dekatkanlah dirimu akan pekerjaan nisacaya kamu akan mencintai pekerjaanmu, dan kamu akan konsisten dalam bekerja.” Mengapa orang bisa ahli dan faham dengan kondisi laut? Tentu karena menjiwai gejala-gejala laut. Kapan angin Barat berhembus, membaca letak bintang, kapan bulan purnama, dan kapan musim pasang surut. Ini bisa difahami apabila menjiwai kondisi alam.
Alam ini diciptakan untuk manusia. Namun apabila alam tidak dikelola dengan baik bisa saja alam ikut memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup manusia. Dekatilah alam dengan penjiwaan berlandaskan keimanan kepada Sang Pencipta alam yakni Allah SWT dalam bentuk syukur harta, syukur perbuatan, syukur nikmat niscaya Allah SWT akan menambah nikmat itu (Q.S. Al-A;raf: 17).
Namun perlu diingat hanya kepada Allah SWT bukan kepada manusia, bukan kepada harta, dan bukan kepada alam tujuan permintaan manusia.
Terakhir, “Tulak Bala” adalah kearifan lokal yang harus dan tetap dilestarikan.   

                                                                                              Barus, Kota Bertuah, Rabu 15 Nov’ 2017.            

1 komentar:

  1. Masyaallah luar biasa penjabaran dari "TULAK BALA" ko pak. Tarimokasih pak atas penjelasannyo

    BalasHapus