TRADISI “TULAK BALA”
ANTARA BAHASA, BUDAYA, DAN
FILOSOFIS
Siang
itu, tepat pada hari Rabu jam 14.00 wib seorang pria separuh baya menjemputku
ke rumah. “Pak, semua sudah siap, dan acara siap untuk dimulai.” Itulah pesan
yang dibawanya agar saya bersegera untuk menghadirinya. Memang benar, di bibir
pantai Pelabuhan Barus itu masyarakat telah berbondong-bondong dan sebagian
lagi telah duduk bersila di atas hamparan tikar. Mereka terdiri dari anak muda,
orang tua, dan anak-anak. Tikar-tikar itu persis berada dalam naungan taratak
yang terususun atas 2 kelompok.
“Assalamu
“alaikum…” salam saya menyapa kerumunan yang sejak beberapa jam tadi telah
menunggu. “Alaikum salam…” serentak menjawab salam saya seraya kami saling
berjabat tangan. Sudah jam 14.15, gumam saya sambil melirik jam tangan yang
melingkari pergelangan tangan kiri saya. “Ayolah…, Mari kita mulai. Setelah
dibuka pengantar oleh protokol, dua orang maju menuju arah Barat. Keduanya
melekatkan kedua jari tangan ke telinga masing-masing. “Allahu Akbar, Allahu
Akbar”….. rupanya mereka mendapat tugas azan. Duet azan ini terus berkumandang
sampai lantunan lafaz azan terakhir.
Setelah
azan selesai, keduanya duduk kembali ke tempat semula. Beberapa pemuda mulai
membagikan kitab Yasiin kepada seluruh yang hadir. Imam mesjid yang memimpin
bacaan yasin memandu hadirin dari awal sampai akhir. Bacaan Yasiin selesai
dilanjutkan dengan Takhtim, Tahlil, dan diakhiri dengan do’a. Semua nampak
khidmat sejak azan hingga do’a. Pembacaan do’a selesai, maka kaum ibu yang dari
tadi telah membawa panganan nasi berserta lauk pauknya ditambah dengan makanan
ringan (Juadah) mulai mendistribusikannya ke dalam piring yang juga telah
mereka bawa dari rumah.
Pemuda-pemuda
yang siap siaga melaksanakan tugasnya dalam membagikan makanan itu secara
merata ke seluruh hadirin. Semua sajian telah siap dan lengkap, pembawa acara
mempersilahkan hadirin untuk menyantapnya. Sambil berkelakar senang dan penuh
persaudaraan semua riang gembira diselai dengan gelak tawa. Kaum ibu dengan
senang hati tampak dari raut wajah mereka melihat hasil masakan mereka
dinikmati bersama. Mereka ikhlas mempersiapkan hidangan tanpa memperhitungkan
berap biaya yang harus dirogoh untuk membeli bahan-bahan makanan. Ada gulai
ayam, gulai ikan, sayur ubi tumbuk, goreng balado, dan bermacam kue basah
lainnya.
Setelah
semua acara rampung, maka dua orang yang tadi melantunkan azan kembali
meyuarakan azan sebagai azan penutup. Setelah itu, acara disambut dengan
pidato. Saya yang diminta untuk menyampaikan pidato sambutan mewakili
masyarakat setempat. Sapaan penghormatanpun diucapkan sebab turut hadir dalam
acara itu Camat, Kapolsek, Danramil, dan tokoh masyarakat setempat.
Itulah
rentetan acara “Tulak Bala” yang tadi dilaksanakan….
Beberapa Kajian Tentang “Tulak Bala”.
1.
Makna “Tulak Bala” versi
Bahasa.
Tulak Bala terdiri atas dua
kata, yakni; Tulak mengandung arti “tolak”. Dalam bahasa Indonesia:
sorong, dorong, (KBBI, 2005: 1203) menepis, mendorong, tidak mau menerima. Bala
mengandung arti: malapetakan, kemalangan, cobaan (KBBI, 2005:95) musibah yang
menimpa, balasan atas perbuatan tidak baikn atau kejadian buruk yang tidak
dikehendaki. Jadi kalau diartikan secara bebas, maka “Tulak Bala” itu
mengandung arti: menolak atau menepis setiap musibah atau kejadian buruk yang
tidak dikehendaki akan menimpa diri.
Secara
kasat makna Tulak Bala yang banyak difahami adalah menolak bala atau
musibah yang akan ditakdirkan oleh Allah SWT. Sehingga dari definisi yang
mentah ini banyak menimbulkan berbagai asumsi menjurus kepada bentuk penolakan
atas takdir yang telah ditentukan-Nya. Seolah-olah kegiatan tradisi “Tolak
Bala” adalah rutinitas sekelompok orang yang bersama-sama menolak bala yang
akan diturunkan bagi manusia. Dampak dari pengertian ini, bermunculanlah
anggapan yang menolak tradisi ini.
Anggapan
ini bukan tidak berdasar, harus diakui bahwa Allah SWT Maha Tahu dan Maha
Berkehendak atas segala apa yang diinginkannya. “Kun Fayakun” (Q.S. Yaasiin: 82). Tidak seorangpun
sanggup untuk menolak setiap takdir yang telah ditetapkan Allah SWT. Dengan
dasar ini maka anggapan “Tulak Bala”
dinisbahkan dengan menolak takdir Allah (Q.S. Al-Hadid: 22).
2.
Memaknai hakikat “Tulak Bala”
Mengulas
tradisi ini, ada beberapa unsur kajian yang harus didudukkan secara
proporsional. Unsur-unsur itu berangkat dari beberapa pertanyaan: apa tujuan
(niat) dari tradisi ini? Apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini?
Dimana tempat dilaksanakannya tradisi ini? Siapa saja yang melaksanakan tradisi
ini?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, yang pertama adalah apa tujuan kegiatan
itu? jawabnya tentu bertolak dari niat. Berpedoman kepada hadis “Innamal
a’malu bin niyyat”. Dalam kajian Islam, niat merupakan kunci utama
diterimanya ibadah seseorang. Kalau niatnya baik dan ditujukan untuk kebaikan,
maka nilai pahala yang akan didapat, jika niatnya tidak baik dan akan mendatangkan
kerusakan maka dosa yang akan diperoleh. Jadi apa yang menjadi niat tradisi “Tulak
Bala” itu? Mari pahami Q.S. Arrum: 41 yang menyatakan bahwa semua kerusakan yang
terjadi di darat dan dilaut adalah akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Ini
mengandung makna bahwa manusialah penyebab yang menjadikan berbagai
kerusakan terjadi. Erosi, banjir,
kebakaran, hama, dan berbagai peristiwa lainnya adalah akibat ketidak seriusan
manusia dalam melestarikan alam (Q.S. Al-Baqarah: 30). Manusia tidak mau
memperbaiki diri atas nikmat yang diberikan Allah lewat fasilitas alam sebagai
sumber kehidupannya. Yang mengundang peristiwa itu adalah perbuatan manusia itu
sendiri. Maka dari itu hakikat tradisi “Tulak Bala” ada mengandung tiga
unsur; yakni pertama, menolak diri
(berdamai dengan diri sendiri) untuk tidak melakukan perbuatan yang akan
merugikan diri dan alam. Kedua, menolak diri
untuk tidak melakukan perbuatan yang akan merusak hubungan dengan sesama
manusia (berdamai dengan sesama). Ketiga, menolak
diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merusak alam
sekitarnya dimana dia berada dan dimana tempat dia mencari nafkah (berdamai
dengan alam). Jadi hakikatnya “Tulak Bala” adalah
menolak diri dari keburukan bagi diri, manusia lainnya dan alam serta
mendekatkan diri dengan Sang Khaliq agar terjalin hablun minallah
dan hablun minannas (Q.S. Ali Imran: 103).
Pertanyaan
yang kedua adalah, apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tradisi “Tulak
Bala” ini? Pada awal tulisan ini telah diuraikan kegiatan yang dilakukan
mulai dari awal hingga selesainya kegiatan. Dimulai dengan azan membaca
ayat-ayat Al-Qur’an dan ditutup dengan do’a. Mengapa harus azan? Kebiasaan yang
apabila terjadi sesuatu yang dahsyat dan membahayakan dalam bentuk kejadian
besar seperti banjir, kebakaran, longsor besar, maka hadapilah dengan azan.
Azan itu adalah kalimat thayyibah yang mengajak kepada shalat. Apabila
terjadi sesuatu yang membuat kita susah, maka shalatlah (Q.S. Al Baqarah:
45).
Kegiatan
lain dalam tradisi ini adalah membaca surat Yassin yang merupakan bacaan yang
rutin dibaca umat Islam. Membaca Al-Qur’an selain ibadah juga memberikan
ketenangan jiwa apalagi secara bersama-sama (Q.S. Al Qiyamah: 18 dan
Q.S. Al-A’raf: 204). Diakhiri dengan do’a sebagai bentuk permohonan
kepada Allah SWT (Q.S. Al Baqarah: 186). Selaku hamba Allah SWT yang
dhaif pertolongan Allah SWT salah satu jalan mutlak sebab Dia-lah yang
disembah. (Q.S. Al-Fatihah: 4).
Untuk
pertanyaan ketiga adalah dimana kegiatan tradisi “Tulak Bala” ini
dilaksanakan? Jawabannya adalah kegiatan ini dilaksanakan di tepi pantai.
Mengapa harus di tepi pantai? Untuk menjawab pertanyaan ini mari simak ayat
Q.S. Arrum: 41 yang menyatakan bahwa keruskan di darat dan di laut atas
perbuatan tangan manusia itu sendiri. Memahami ayat ini pantai yang bersih
dijadikan tempat sebagai tempat yang tepat. Ada dua alasan yang menjadi
landasan utama mengapa di pantai. Pertama, tradisi ini banyak dilakukan
masyarkat pesisir pantai yang bernata pencaharian nelayan hidup dari hasil
laut. Artinya, Apa yang menjadi sumber mata pencaharian harus dicintai agar
bisa menyatu dengan diri sehingga kedekatan diri dengan alam menjadi sebuah
semangat dalam bekerja. Tapi meskipun demikian tetap menomorsatukan Sang
Pencipta alam itu sendiri.(Q.S. Al-Jum’ah: 10). Kedua, berjamaah dalam
melaksanakan sebuah kegiatan yang baik tentu memberikan semangat dan
kebersamaan. Ukhuwah Islamiyah menjadi sarana utama dalam menciptakan iklim
kehidupan (Q.S. Al-Hujarat: 10). Disinilah terbentuk kerukunan dalam
bermasyarakat (Q.S. Ali Imran: 103) yang diikat dengan hablun minallah dan
hablun minannas saling berbagi, saling memberi atas segala kucuran rezki
yang diberikan Allah SWT. Alam ini diciptakan Allah SWT sebagai sarana untuk
beribadah, bekerja, belajar, hingga manusia menyelesaikan tugasnya di muka bumi
ini.
Pertanyaan yang
ketiga adalah: siapa saja yang melaksanakan “Tulak Bala” ini? Yang ikut dalam pelaksanaan tradisi ini adalah
muslim. Dan tradisi ini hanya ada di wilayah pesisir pantai yang beragama
Islam. Yang bukan Islam tidak dibenrkan mengikuti kegiatan ini. Sebab penekanan
dalam tradisi ini adalah sekaligus saling mengingatkan agar tetap beriman
kepada Allah SWT dan tetap berpegang teguh atas ibadah Islam (Q.S.Ali Imran:
102).
3.
Filosofis Tradisi “Tulak Bala”
Sejarah tradisi
“Tulak Bala” sudah dilaksanakan secara turun temuurun dari generasi ke
generasi apalagi daerah pesisir pantai. Dari demografisnya kalau dilihat dari
kebiasaan masyarakat mulai daerah Aceh, pantai Barat Sumatera Utara hingga
Sumatera Barat merupakan wilayah yang mempunyai tradisi yang sama baik adat
istiadat, pakaian adat hingga kegiatan keagamaan. Tentu saja adat kebiasaan ini
tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada berbagai landasan berfikir untuk
menciptakan sebuah kegiatan. Kehidupan yang bersandar kepada laut sebagai pokok
mata pencaharian harus dilestarikan. Sama halnya dengan petani yang pokok mata
pencahariannya harus melestarikan sawah atau kebunnya. Pedagang juga demikian,
harus melestarikan pabrik, kedai, toko, dan perusahaannya agar tetap menjiwa
dan dekat secara psikologis.
Apabila tidak
menjiwai pekerjaan dan tempat kerja, maka tentu usaha tidak maksimal. “Jiwai
dan dekatkanlah dirimu akan pekerjaan nisacaya kamu akan mencintai pekerjaanmu,
dan kamu akan konsisten dalam bekerja.” Mengapa orang bisa ahli dan faham
dengan kondisi laut? Tentu karena menjiwai gejala-gejala laut. Kapan angin
Barat berhembus, membaca letak bintang, kapan bulan purnama, dan kapan musim
pasang surut. Ini bisa difahami apabila menjiwai kondisi alam.
Alam ini
diciptakan untuk manusia. Namun apabila alam tidak dikelola dengan baik bisa
saja alam ikut memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup manusia. Dekatilah
alam dengan penjiwaan berlandaskan keimanan kepada Sang Pencipta alam yakni
Allah SWT dalam bentuk syukur harta, syukur perbuatan, syukur nikmat niscaya
Allah SWT akan menambah nikmat itu (Q.S. Al-A;raf: 17).
Namun perlu
diingat hanya kepada Allah SWT bukan kepada manusia, bukan kepada harta, dan
bukan kepada alam tujuan permintaan manusia.
Terakhir, “Tulak
Bala” adalah kearifan lokal yang harus dan tetap dilestarikan.
Barus,
Kota Bertuah, Rabu 15 Nov’ 2017.
Masyaallah luar biasa penjabaran dari "TULAK BALA" ko pak. Tarimokasih pak atas penjelasannyo
BalasHapus