SEMINAR PENDIDIKAN ISLAM
“Program Studi
Berbasis Masyarakat: Terobosan Program dan Tantangan.”
Oleh:
Dr. Abdusima Nasution, MA
(Ketua Program Studi PAI – STIT
HASIBA)
Disampaikan Pada Seminar Internal
dalam Rangka Dies Natalis Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Hamzah Alfansuri Sibolga
Barus Ke- XVI
di Kampus STIT HASIBA BARUS
Maret, 2017
A.
Pendahuluan
Memasuki abad ke-21, isu tentang
perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya
dalam jalur pendidikan umum, tetapi semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan
upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa kementerian
teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan
oleh kementerian terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut,
tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor
pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan
merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil
pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses hasil dan hasil
pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan memengaruhi indeks keberhasilan
pendidikan secara keseluruhan.[1]
Pendidikan menjadi wahana paling
krusial dalam memberdayakan manusia post era modernitas.[2]
Reformasi pendidikan tidak hanya cukup dengan perubahan dari sektor kurikulum
maupun perumusan prosedur saja, namun menyahuti kebutuhan masyarakat yang
terintegrasi dalam program yang dilaksanakan. Pengintegrasian program
pendidikan dengan pengabdian kepada masyarakat agar peserta didik memiliki
kepekaan sosial yang tinggi. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang
bergerak dinamis tentunya memiliki visi misi yang jelas dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya untuk memberikan perbaikan individual, institusi dan juga
masyarakat. Meskipun perguruan tinggi itu merupakan globalize unit form,
namun pada tataran miniaturnya dijalankan oleh program studi. Besarnya sebuah
perguruan tinggi akan beranjak menuju kualitas diri manakala program studi yang
ada di dalamnya berjibaku untuk meningkatkan pendidikannya. Sehingga, program
studi yang ada di perguruan tinggi tersebut menjadi tumpuan harapan dalam derap
langkah perubahan kualitasnya ke arah yang lebih baik dan maksimal.
Semua perguruan tinggi harus
mempersiapkan mahasiswanya dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan
serta basis keilmuan yang memadai. Perguruan tinggi bukanlah sebuah formalitas
untuk memiliki ijazah, tetapi justru adalah proses penguatan kompetensi.
Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan
basis keahlian atau keterampilannya. Untuk itulah, reformasi pendidikan
merupakan sebuah keharusan, dengan perbaikan menyeluruh dalam semua aspeknya,
agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing
yang tinggi di pasar tenaga kerja, dalam level dan jenis apapun profesinya.[3]
Sementara itu, masyarakat adalah
kontributor, konsumen, dan unsur yang akan memberikan penilaian terhadap
perguruan tinggi. Sehingga, masyarakat pada hakikatnya mempunyai andil besar
dalam membesarkan dan melaksanakan operasional pendidikan tinggi tersebut.
Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi
pada seluruh aspek kehidupan, sehingga perguruan tinggi harus mampu memberikan
yang terbaik melalui program studi kepada masyarakat konstuentnya secara
fair, karena mereka adalah juga staceholder-nya dan sekaligus client
dari lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan berbasis masyarakat juga identik
dengan pendidikan demokratis dengan konotasi maknanya. Dalam istilah demokratis
sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, demokratis
terdiri dari dua kata, yaitu demos yang artinya bermakna rakyat dan kratos
yang berarti kekuasan, dan apabila digabungkan bermakna kekuasan di tangan
rakyat. Kalau dalam bahasa politiknya
bagi pemerintahan bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sementara dalam bahasa pendidikannya bagi
masyarakat mempunyai makna
pendidikan itu dari masyarakat, oleh masyarat, dan untuk masyarakat. Dalam
makalah ini akan dipaparkan berbagai hal yang menjadi topik kajian berkaitan
dengan program studi berbasis masyarakat. Uraian pembahasan ini akan dikaji
melalui dinamika program studi baik dari aspek kuantitas dan kualitas
perjalanannya maupun sepak terjangnya dalam dunia akademik. Pembahasan
selanjutnya akan diketengahkan terkait dengan konsep dan kebutuhan masyarakat
yang diharapkan dari hasil sebuah
program studi selaku pemakai (consumen education). Dan dilanjutkan
dengan terobosan-terobosan yang telah dan akan dilaksanakan oleh program studi
bersama tantangan yang menjadi solusi kebijakan.
B.
Dinamika Pendidikan Tinggi
Islam
Visi pendidikan Islam yang
diaplikasikan oleh rasulullah Saw sesungguhnya melekat pada cita-cita dan
tujuan jangka panjang ajaran Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat bagi
seluruh manusia[4]
(lihat. QS, Al-Anbiya’: 107).Pendidikan Islam dalam arti luas mencakup kegiatan
dakwah Islam, yaitu usaha untuk mengadakan perobahan dalam sikap hidup,
pengetahuan, dan keterampilan.[5]
Perobahan-perobahan itu diharapkan mampu mewarnai sisi-sisi kehidupan muslim,
baik pelajar dan juga masyarakat.
Dipilihnya lembaga pendidikan tinggi Islam ini dikarenakan lembaga ini
merupakan salah satu bentuk lembaga yang mengembangkan berbagai studi keilmuan
tentang Islam, disamping itu juga merupakan lembaga pendidikan yang produk
almuninya secara langsung berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan masyarakat muslim sebagai pembimbing kehdiupan
beragama. Selain itu perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi lebih
dapat mencerminkan sifat dinamis dalam pendidikan Islam itu sendiri.[6]
Dari sudut kajian sejarah, ide
pendidikan tinggi Islam di Sumatera terjadi pertama sekali di Padang pada tahun
1940 dengan nama Sekolah Tinggi Islam yang dirintis oleh Persatuan Guru-Guru Agama
Islam (PGAI) yang dipimpin oleh Mahmud Yunus.[7]
Kemudian dialnjutkanlah di kota-kota lainnya di Indonesia baik di Jawa maupun
luar Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya hingga saat ini dapat dilihat sebagai
berikut berdasarkan data Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Agama
RI sebagai berikut:
Jumlah Mahasiswa PTKI se Indonesia 747.686 (Data Emis TA 2015/2016)[8]
Data yang
ditampilkan di atas, maka menjadi sebuah kebanggaan bagi pendidikan tinggi
Islam dengan peningkatan kuantitas dari jumlah lembaga dan mahasiswa dari tahun
ke tahun. Menurut pemaparan Menteri Agama RI Lukman Saifuddin, bahwa Indonesia merupakan
negara yang terbanyak lembaga Pendidikan Tinggi Islamnya di dunia. Dengan
penajabaran Mesir sebanyak 55 PT, Arab Saudi sebanyak 60 PT, Malaysia sebanyak
35 PT, sementara Indonesia mencapai 699 PT.[9]
Tentunya,
pertumbuhan dan perkembangan ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas
dari berbagai aspeknya. Pemerintah dan masyarakat baik nasional, daerah, dan
juga masyarakat yang berada di lingkungan berharap banyak akan adanya perobahan
kultur budaya Islam yang positif dengan terus berkembangnya lembaga pendidikan
tinggi Islam ini.
C.
Masyarakat Publik Sebagai Konsumen PTAI
Lembaga Pendidikan
Tinggi Kependidikan Islam (PTKI) merupakan lembaga pendidikan yang banyak
diharapkan memberi warna perubahan (colour of change) positif ke depan terkait dengan visi misi
yang diembannya. Perbaikan-perbaikan
yang akan dirasakan dengan keberadaan dan pertumbuhan perguruan tinggi idealnya
mampu ditampilkan secara konkrit bukan teoritis. Setidaknya PTKI itu melalui
Program Studi akan memberikan dampak positif bagi mahasiswa, masyarakat lokal,
masyarakat luas, budaya, dan agama. Seperti ditampilkan dalam gambar berikut:
Perguruan Tinggi =
Lembaga Pendidikan Tinggi Islam itu sendiri
Prodi = Program Studi yang di bawah instusi PTKI
Mahasiswa
= Mahasiswa yang tercatat di PTKI
Masyarakat Lokal=
Keluarga dekat Mahasiswa (Orang tua/Saudara)
Masyarakat
Luas = Lingkungan Masyarakat di PTKI
Budaya
= Iklim Kehidupan Masyarakat
Agama
= Ummat Islam secara keseluruhan
Baru-baru
ini, Kementerian Agama RI melalui
Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mencetuskan sebuah program langkah konkrit
baru dalam menyiasati dan melejitkan profesionalitas lembaga pendidikan tinggi
Islam dengan sebuah gerakan “Program Studi Berbasis Masyarakat.” Program ini
bertujuan agar terjalinnya koneksitas antara perguruan tinggi Islam dengan
masyarakat dimana perguruan tinggi Islam itu berada. Dengan adanya program ini
menjadi sebuah model baru supaya masyarakat merasakan langsung kinerja dan
hasil perguruan tinggi Islam itu.
Dalam program
“Program Studi Berbasis Masyarakat” ini diharapkan agar lembaga pendidikan
tinggi Islam itu menciptakan program kegiatan melalui program studi yang ada
untuk memberdayakan masyarakat khusus berkaitan dengan peningkatan bagi
masyarakat baik secara ekonomi, ibadah, moral, bahasa, dan dakwah. Lembaga
pendidikan tinggi Islam itu merancang program baru sesuai dengan program studi
yang dimiliki. Misalkan Prodi Bahasa Arab membuat program dengan menjadikan
masyarakat yang berada di lingkungan
perguruan tinggi Islam itu membudayakan berbahasa Arab dalam kesehariannya.
Tentunya, mahasiswa Prodi Bahasa Arablah yang bertanggung jawab atas terlaksana
dan kesuksesan program berbasis masyarakat tersebut.
Misalkan lagi
program studi Pendidikan Agama Islam berkewajiban membuat program dengan
lingkungan masyarakat memberdayakan sekaligus membudayakan mesjid, ibadah, dan
juga dakwah. Kelancaran dan suksesnya program ini merupakan tanggung jawab dari
prodi PAI. Program-program itu disesuaikan dengan visi misi prodi yang ada di
lembaga pendidikan tinggi Islam itu sehingga masyarakat bisa merasakan
kehadiran perguruan tinggi Islam itu mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Menyikapi himbauan
dan harapan ini kekuatannya ada di tangan mahasiswa yang dikordinir langsung
oleh perguruan tinggi Islam itu melalui program studi. Bisa saja lembaga
pendidikan tinggi Islam itu melakukan kordinasi langsung dengan instansi
terkait seperti pemerintah setempat atau lembaga kementerian agama. Yang jelas,
masyarakat harus menjadi bahan kajian ilmiah melalui penelitiannya sebagai
objek dari program itu. Pihak perguruan tinggi Islam terlebih dahulu
mengobservasi sekaligus menganalisis apa yang menjadi prioritas utama dalam
program yang akan dilaksanakan.
D.
Efektifitas dan Sinerjitas Terobosan Program Studi
Prof. Mulyadi
Kertanegara melontarkan sebuah ungkapan yang sangat menghentak pemikiran kita,
beliau mengatakan, “ Indonesia dikenal pada saat ini sebagai negara dengan
penduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi anehnya tak seorangpun merasa gentar
atau menaruh hormat dengan kebesaran jumlah tersebut, karena nampaknya ia
kosong dari substansi. Tak heran kalau ada orang yang bilang bahwa kita adalah
raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Sekalipun besar, raksasa
yang sedang tidur tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, meskipun tentunya
punya potensi besar kalau kita sanggup membangunkannya.”[10]
Ungkapan ini
tentunya menjadi renungan bagi seluruh umat Islam terlebih-lebih lembaga
pendidikan Islam termasuk Perguruan Tinggi Islam. Hakikinya tanggung jawab besar
salah satunya terletak di tangan perguruan tinggi Islam untuk menyikapi dan
men-delet tuduhan itu. Perguruan tinggi Islam sebagai tumpuan untuk
membangkitkan kembali sekaligus motor penggerak perubahan (agen of change)
dimanapun perguruan tinggi itu berada. Untuk itu setiap perguruan tinggi Islam
wajib melakukan terobosan-terobosan yang terencana dalam menumbuhkembangkan
sikap peka terhadap perubahan itu terutama bagi insan akademik, masyarakat,
juga pemerintahan.
Dalam menyikapi
dan menerobos ke arah kemajuan itu, maka beberapa hal yang akan ditawarkan melalui beberapa opsi-opsi yang
menjadi sasaran pokok bagi perguruan tinggi Islam melalui program studi, yakni:
1.
Bidang Ibadah
Sebaiknya perguruan tinggi harus
mengedepankan terlaksananya ibadah yang dimotori oleh perguruan tinggi di
tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi prioritas utama yang harus
dilakukan dari aspek ibadah ini, seperti: (1) kreatifitas mahasiswa
menghidupkan serta menggerakkan masyarakat untuk cinta ibadah. Sebaiknya mahasiswa
Islam yang selalu menjunjung tinggi tri dharma perguruan tinggi aktif secara
langsung (activ direct) mengisi kegiatan ibadah di masyarakat.
Mesjid-mesjid yang ada di sekitar lingkungan kampus dan masyarakat idealnya
menjadi prioritas utama. (2) Pihak perguruan tinggi, hendaknya
memfasilitasi program ini dengan
menerbitkan ketentuan yang berkaitan dengan nilai akademik yang harus dicapai
mahasiswa dalam bentuk SKEK (Satuan Kredit Ekstra Kurikuler) di luar kampus.
(3) Memberikan tindakan akademik bagi
mahasiswa yang belum dan tidak pernah melaksanakan kegiatan SKEK sehingga
mahasiswa bertanggung jawab atas ketersahutan program yang dimaksud.
2.
Bidang Ilmiah
Kajian-kajian ilmiah yang menjadi menu
dalam tradisi perkuliahan melalui mata kuliah
yang bersifat penelitian hendaknya langsung diterjunkan ke tengah-tengah
masyarakat guna menjadi objek kajian. Tentunya kajian ilmiah itu berkaitan
dengan keislaman dan pendidikan yang nantinya akan dijadikan barometer dalam
mengambil langkah ke depan dan juga memberikan solusi (solving) terhadap
permasalahan yang ada. Selain dijadikan mini research, juga akan mendongkrak kualitas dan kemampuan
mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Kajian-kajian yang
dijadikan objek penelitian itu seperti: (1) Kultur Budaya Islam setempat, (2)
Tinggi/Rendahnya minat siswa melanjut ke perguruan tinggi, (3) Tinggi/Rendahnya
kesadaran beribadah, (4) Penyakit Masyarakat, dan (4) Kenakalan Remaja.
3.
Bidang Muamalah
Sosial kemasyarakatan harus juga menjadi
salah satu skala prioritas yang harus disoroti. Kepekaan perguruan tinggi dan
insan akademik sangat dibutuhkan oleh konsumen (masyarakat). Perguruan tinggi
Islam mestinya selalu tetap menjalin komunikasi yang baik (mu’amalah bil
ma’ruf). Berbagai kegiatan sosial yang terjadi di tengah-tengah komunitas
muslim hendaknya disikapi dan dimotori sehingga masyarakat merasakan keberadaan
perguruan tinggi itu sendiri. Banyak hal yang bisa dijadikan kegiatan sosial,
seperti: (1) Perayaan Hari Besar Islam, (2) Penyuluhan Fardhu Kifayah, dan
kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Guna mensinerjikan
iklim dan budaya akademik sekaligus melejitkan kualitas mahasiswa sebagai insan
akademik, maka hal yang harus menjadi tantangan adalah manajerialisasi seluruh
komponen lembaga pendidikan tinggi. Membangun kerjasama (cooperative
building) antar seluruh stockholder sebagai implementor, pembuat kebijakan,
serta kesiapan finansial berikut aturan yang ditetapkan oleh lembaga perguruan
tinggi. Sehingga melejitkan budaya akademik yang berhasil dan tepat sasaran
akan menghantarkan perguruan tinggi ke
kualitas yang diharapkan (high quality) dan menjadikan perguruan tinggi
terkenal baik nasional apaladi internasional.
Daftar Pustaka
Darwis,
Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan.
Semarang:Rasail, 2006.
Fauzi,
Imron. Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah. Jogjakarta: Ar-Ruz Media,
2012.
Kartanegara,
Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan,
2006.
Rosyada,
Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2013.
Syafaruddin.
Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat. Jakarta: Hijri
Pustaka Utama, 2009.
Webset Dirjen Diktis Kemenag RI.
[1] Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 1.
[2] Syafaruddin, Ilmu
Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat (Jakarta: Hijri Pustaka
Utama, 2009), h. 13.
[3] Ibid., h. 9.
[4] Imron Fauzi, Manajemen
Pendidikan Ala Rasulullah (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012), h. 94.
[5] Djamaluddin
Darwis, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan
(Semarang:Rasail, 2006), h. 21.
[6] Ibid., h. 22.
[7] Ibid., h. 4.
[8] Data-data yang
ditampilkan diambil dari Data Dirjen Diktis Kemenag RI.
[9] Dalam Kuliah
Umum dan Pembukaan Rapat Kerja IAIN Manado pada tanggal 08 April 2015.
[10] Mulyadhi
Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan,
2006), h. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar