Jumat, 03 November 2017




SEMINAR PENDIDIKAN ISLAM
“Program Studi Berbasis Masyarakat: Terobosan Program dan Tantangan.”
Oleh:
Dr. Abdusima Nasution, MA
(Ketua Program Studi PAI – STIT HASIBA)











Disampaikan Pada Seminar Internal dalam Rangka Dies Natalis Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Hamzah Alfansuri Sibolga Barus  Ke- XVI
di Kampus  STIT HASIBA BARUS
Maret, 2017











       

A.    Pendahuluan
Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tetapi semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa kementerian teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh kementerian terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses hasil dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan memengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[1]
Pendidikan menjadi wahana paling krusial dalam memberdayakan manusia post era modernitas.[2] Reformasi pendidikan tidak hanya cukup dengan perubahan dari sektor kurikulum maupun perumusan prosedur saja, namun menyahuti kebutuhan masyarakat yang terintegrasi dalam program yang dilaksanakan. Pengintegrasian program pendidikan dengan pengabdian kepada masyarakat agar peserta didik memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang bergerak dinamis tentunya memiliki visi misi yang jelas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberikan perbaikan individual, institusi dan juga masyarakat. Meskipun perguruan tinggi itu merupakan globalize unit form, namun pada tataran miniaturnya dijalankan oleh program studi. Besarnya sebuah perguruan tinggi akan beranjak menuju kualitas diri manakala program studi yang ada di dalamnya berjibaku untuk meningkatkan pendidikannya. Sehingga, program studi yang ada di perguruan tinggi tersebut menjadi tumpuan harapan dalam derap langkah perubahan kualitasnya ke arah yang lebih baik dan maksimal.
Semua perguruan tinggi harus mempersiapkan mahasiswanya dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang memadai. Perguruan tinggi bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, tetapi justru adalah proses penguatan kompetensi. Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau keterampilannya. Untuk itulah, reformasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, dengan perbaikan menyeluruh dalam semua aspeknya, agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi di pasar tenaga kerja, dalam level dan jenis apapun profesinya.[3]
Sementara itu, masyarakat adalah kontributor, konsumen, dan unsur yang akan memberikan penilaian terhadap perguruan tinggi. Sehingga, masyarakat pada hakikatnya mempunyai andil besar dalam membesarkan dan melaksanakan operasional pendidikan tinggi tersebut. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga perguruan tinggi harus mampu memberikan yang terbaik melalui program studi kepada masyarakat konstuentnya secara fair, karena mereka adalah juga staceholder-nya dan sekaligus client dari lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan berbasis masyarakat juga identik dengan pendidikan demokratis dengan konotasi maknanya. Dalam istilah demokratis sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, demokratis terdiri dari dua kata, yaitu demos yang artinya bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasan, dan apabila digabungkan bermakna kekuasan di tangan rakyat.  Kalau dalam bahasa politiknya bagi pemerintahan bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara dalam bahasa pendidikannya bagi  masyarakat  mempunyai makna pendidikan itu dari masyarakat, oleh masyarat, dan untuk masyarakat. Dalam makalah ini akan dipaparkan berbagai hal yang menjadi topik kajian berkaitan dengan program studi berbasis masyarakat. Uraian pembahasan ini akan dikaji melalui dinamika program studi baik dari aspek kuantitas dan kualitas perjalanannya maupun sepak terjangnya dalam dunia akademik. Pembahasan selanjutnya akan diketengahkan terkait dengan konsep dan kebutuhan masyarakat yang diharapkan dari hasil  sebuah program studi selaku pemakai (consumen education). Dan dilanjutkan dengan terobosan-terobosan yang telah dan akan dilaksanakan oleh program studi bersama tantangan yang menjadi solusi kebijakan.
B.     Dinamika  Pendidikan Tinggi Islam
Visi pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh rasulullah Saw sesungguhnya melekat pada cita-cita dan tujuan jangka panjang ajaran Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat bagi seluruh manusia[4] (lihat. QS, Al-Anbiya’: 107).Pendidikan Islam dalam arti luas mencakup kegiatan dakwah Islam, yaitu usaha untuk mengadakan perobahan dalam sikap hidup, pengetahuan, dan keterampilan.[5] Perobahan-perobahan itu diharapkan mampu mewarnai sisi-sisi kehidupan muslim, baik pelajar dan juga masyarakat.  Dipilihnya lembaga pendidikan tinggi Islam ini dikarenakan lembaga ini merupakan salah satu bentuk lembaga yang mengembangkan berbagai studi keilmuan tentang Islam, disamping itu juga merupakan lembaga pendidikan yang produk almuninya secara langsung berkaitan dengan  pemenuhan kebutuhan masyarakat muslim sebagai pembimbing kehdiupan beragama. Selain itu perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi lebih dapat mencerminkan sifat dinamis dalam pendidikan Islam itu sendiri.[6]
Dari sudut kajian sejarah, ide pendidikan tinggi Islam di Sumatera terjadi pertama sekali di Padang pada tahun 1940 dengan nama Sekolah Tinggi Islam yang dirintis oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang dipimpin oleh Mahmud Yunus.[7] Kemudian dialnjutkanlah di kota-kota lainnya di Indonesia baik di Jawa maupun luar Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya hingga saat ini dapat dilihat sebagai berikut berdasarkan data Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Agama RI sebagai berikut:


Jumlah Mahasiswa PTKI se Indonesia 747.686 (Data Emis TA 2015/2016)[8]
            Data yang ditampilkan di atas, maka menjadi sebuah kebanggaan bagi pendidikan tinggi Islam dengan peningkatan kuantitas dari jumlah lembaga dan mahasiswa dari tahun ke tahun.   Menurut pemaparan Menteri Agama RI  Lukman Saifuddin, bahwa Indonesia merupakan negara yang terbanyak lembaga Pendidikan Tinggi Islamnya di dunia. Dengan penajabaran Mesir sebanyak 55 PT, Arab Saudi sebanyak 60 PT, Malaysia sebanyak 35 PT, sementara Indonesia mencapai 699 PT.[9]
            Tentunya, pertumbuhan dan perkembangan ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dari berbagai aspeknya. Pemerintah dan masyarakat baik nasional, daerah, dan juga masyarakat yang berada di lingkungan berharap banyak akan adanya perobahan kultur budaya Islam yang positif dengan terus berkembangnya lembaga pendidikan tinggi Islam ini.


C.    Masyarakat Publik Sebagai Konsumen  PTAI
            Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan Islam (PTKI) merupakan lembaga pendidikan yang banyak diharapkan memberi warna perubahan (colour of change)  positif ke depan terkait dengan visi misi yang diembannya.       Perbaikan-perbaikan yang akan dirasakan dengan keberadaan dan pertumbuhan perguruan tinggi idealnya mampu ditampilkan secara konkrit bukan teoritis. Setidaknya PTKI itu melalui Program Studi akan memberikan dampak positif bagi mahasiswa, masyarakat lokal, masyarakat luas, budaya, dan agama. Seperti ditampilkan dalam gambar berikut:
           
           
            Perguruan Tinggi = Lembaga Pendidikan Tinggi Islam itu sendiri
            Prodi                    = Program Studi yang di bawah instusi PTKI
            Mahasiswa           = Mahasiswa yang tercatat di PTKI
            Masyarakat Lokal= Keluarga dekat Mahasiswa (Orang tua/Saudara)
            Masyarakat Luas  = Lingkungan Masyarakat di PTKI
            Budaya                 = Iklim Kehidupan Masyarakat
            Agama                  = Ummat Islam secara keseluruhan
            Baru-baru ini,  Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mencetuskan sebuah program langkah konkrit baru dalam menyiasati dan melejitkan profesionalitas lembaga pendidikan tinggi Islam dengan sebuah gerakan “Program Studi Berbasis Masyarakat.” Program ini bertujuan agar terjalinnya koneksitas antara perguruan tinggi Islam dengan masyarakat dimana perguruan tinggi Islam itu berada. Dengan adanya program ini menjadi sebuah model baru supaya masyarakat merasakan langsung kinerja dan hasil perguruan tinggi Islam itu.
            Dalam program “Program Studi Berbasis Masyarakat” ini diharapkan agar lembaga pendidikan tinggi Islam itu menciptakan program kegiatan melalui program studi yang ada untuk memberdayakan masyarakat khusus berkaitan dengan peningkatan bagi masyarakat baik secara ekonomi, ibadah, moral, bahasa, dan dakwah. Lembaga pendidikan tinggi Islam itu merancang program baru sesuai dengan program studi yang dimiliki. Misalkan Prodi Bahasa Arab membuat program dengan menjadikan masyarakat  yang berada di lingkungan perguruan tinggi Islam itu membudayakan berbahasa Arab dalam kesehariannya. Tentunya, mahasiswa Prodi Bahasa Arablah yang bertanggung jawab atas terlaksana dan kesuksesan program berbasis masyarakat tersebut.
            Misalkan lagi program studi Pendidikan Agama Islam berkewajiban membuat program dengan lingkungan masyarakat memberdayakan sekaligus membudayakan mesjid, ibadah, dan juga dakwah. Kelancaran dan suksesnya program ini merupakan tanggung jawab dari prodi PAI. Program-program itu disesuaikan dengan visi misi prodi yang ada di lembaga pendidikan tinggi Islam itu sehingga masyarakat bisa merasakan kehadiran perguruan tinggi Islam itu mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat.
            Menyikapi himbauan dan harapan ini kekuatannya ada di tangan mahasiswa yang dikordinir langsung oleh perguruan tinggi Islam itu melalui program studi. Bisa saja lembaga pendidikan tinggi Islam itu melakukan kordinasi langsung dengan instansi terkait seperti pemerintah setempat atau lembaga kementerian agama. Yang jelas, masyarakat harus menjadi bahan kajian ilmiah melalui penelitiannya sebagai objek dari program itu. Pihak perguruan tinggi Islam terlebih dahulu mengobservasi sekaligus menganalisis apa yang menjadi prioritas utama dalam program yang akan dilaksanakan.

D.    Efektifitas dan Sinerjitas Terobosan Program Studi
            Prof. Mulyadi Kertanegara melontarkan sebuah ungkapan yang sangat menghentak pemikiran kita, beliau mengatakan, “ Indonesia dikenal pada saat ini sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi anehnya tak seorangpun merasa gentar atau menaruh hormat dengan kebesaran jumlah tersebut, karena nampaknya ia kosong dari substansi. Tak heran kalau ada orang yang bilang bahwa kita adalah raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Sekalipun besar, raksasa yang sedang tidur tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, meskipun tentunya punya potensi besar kalau kita sanggup membangunkannya.”[10]
            Ungkapan ini tentunya menjadi renungan bagi seluruh umat Islam terlebih-lebih lembaga pendidikan Islam termasuk Perguruan Tinggi Islam. Hakikinya tanggung jawab besar salah satunya terletak di tangan  perguruan tinggi Islam untuk menyikapi dan men-delet tuduhan itu. Perguruan tinggi Islam sebagai tumpuan untuk membangkitkan kembali sekaligus motor penggerak perubahan (agen of change) dimanapun perguruan tinggi itu berada. Untuk itu setiap perguruan tinggi Islam wajib melakukan terobosan-terobosan yang terencana dalam menumbuhkembangkan sikap peka terhadap perubahan itu terutama bagi insan akademik, masyarakat, juga pemerintahan.
            Dalam menyikapi dan menerobos ke arah kemajuan itu, maka beberapa hal yang akan  ditawarkan melalui beberapa opsi-opsi yang menjadi sasaran pokok bagi perguruan tinggi Islam melalui program studi, yakni:
1.      Bidang Ibadah
      Sebaiknya perguruan tinggi harus mengedepankan terlaksananya ibadah yang dimotori oleh perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi prioritas utama yang harus dilakukan dari aspek ibadah ini, seperti: (1) kreatifitas mahasiswa menghidupkan serta menggerakkan masyarakat untuk cinta ibadah. Sebaiknya mahasiswa Islam yang selalu menjunjung tinggi tri dharma perguruan tinggi aktif secara langsung (activ direct) mengisi kegiatan ibadah di masyarakat. Mesjid-mesjid yang ada di sekitar lingkungan kampus dan masyarakat idealnya menjadi prioritas utama. (2) Pihak perguruan tinggi, hendaknya memfasilitasi  program ini dengan menerbitkan ketentuan yang berkaitan dengan nilai akademik yang harus dicapai mahasiswa dalam bentuk SKEK (Satuan Kredit Ekstra Kurikuler) di luar kampus. (3)  Memberikan tindakan akademik bagi mahasiswa yang belum dan tidak pernah melaksanakan kegiatan SKEK sehingga mahasiswa bertanggung jawab atas ketersahutan program yang dimaksud. 
2.      Bidang Ilmiah
      Kajian-kajian ilmiah yang menjadi menu dalam tradisi perkuliahan melalui mata kuliah  yang bersifat penelitian hendaknya langsung diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat guna menjadi objek kajian. Tentunya kajian ilmiah itu berkaitan dengan keislaman dan pendidikan yang nantinya akan dijadikan barometer dalam mengambil langkah ke depan dan juga memberikan solusi (solving) terhadap permasalahan yang ada. Selain dijadikan mini research,  juga akan mendongkrak kualitas dan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Kajian-kajian yang dijadikan objek penelitian itu seperti: (1) Kultur Budaya Islam setempat, (2) Tinggi/Rendahnya minat siswa melanjut ke perguruan tinggi, (3) Tinggi/Rendahnya kesadaran beribadah, (4) Penyakit Masyarakat, dan (4) Kenakalan Remaja.
3.      Bidang Muamalah
      Sosial kemasyarakatan harus juga menjadi salah satu skala prioritas yang harus disoroti. Kepekaan perguruan tinggi dan insan akademik sangat dibutuhkan oleh konsumen (masyarakat). Perguruan tinggi Islam mestinya selalu tetap menjalin komunikasi yang baik (mu’amalah bil ma’ruf). Berbagai kegiatan sosial yang terjadi di tengah-tengah komunitas muslim hendaknya disikapi dan dimotori sehingga masyarakat merasakan keberadaan perguruan tinggi itu sendiri. Banyak hal yang bisa dijadikan kegiatan sosial, seperti: (1) Perayaan Hari Besar Islam, (2) Penyuluhan Fardhu Kifayah, dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.

       Guna mensinerjikan iklim dan budaya akademik sekaligus melejitkan kualitas mahasiswa sebagai insan akademik, maka hal yang harus menjadi tantangan adalah manajerialisasi seluruh komponen lembaga pendidikan tinggi. Membangun kerjasama (cooperative building) antar seluruh stockholder sebagai implementor, pembuat kebijakan, serta kesiapan finansial berikut aturan yang ditetapkan oleh lembaga perguruan tinggi. Sehingga melejitkan budaya akademik yang berhasil dan tepat sasaran akan menghantarkan perguruan tinggi  ke kualitas yang diharapkan (high quality) dan menjadikan perguruan tinggi terkenal baik nasional apaladi internasional.
















Daftar Pustaka

Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan. Semarang:Rasail, 2006.

Fauzi, Imron. Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah. Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012.

Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.

Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Syafaruddin. Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009.

Webset Dirjen Diktis Kemenag RI.




[1] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 1.
[2] Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 13.
[3] Ibid., h. 9.
[4] Imron Fauzi, Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012), h. 94.
[5] Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan (Semarang:Rasail, 2006), h. 21.
[6] Ibid., h. 22.
[7] Ibid., h. 4.
[8] Data-data yang ditampilkan diambil dari Data Dirjen Diktis Kemenag RI.
[9] Dalam Kuliah Umum dan Pembukaan Rapat Kerja IAIN Manado pada tanggal 08 April 2015.
[10] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar