Rabu, 15 November 2017


TRADISI “TULAK BALA”
ANTARA BAHASA, BUDAYA, DAN FILOSOFIS

Siang itu, tepat pada hari Rabu jam 14.00 wib seorang pria separuh baya menjemputku ke rumah. “Pak, semua sudah siap, dan acara siap untuk dimulai.” Itulah pesan yang dibawanya agar saya bersegera untuk menghadirinya. Memang benar, di bibir pantai Pelabuhan Barus itu masyarakat telah berbondong-bondong dan sebagian lagi telah duduk bersila di atas hamparan tikar. Mereka terdiri dari anak muda, orang tua, dan anak-anak. Tikar-tikar itu persis berada dalam naungan taratak yang terususun atas 2 kelompok. 
“Assalamu “alaikum…” salam saya menyapa kerumunan yang sejak beberapa jam tadi telah menunggu. “Alaikum salam…” serentak menjawab salam saya seraya kami saling berjabat tangan. Sudah jam 14.15, gumam saya sambil melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiri saya. “Ayolah…, Mari kita mulai. Setelah dibuka pengantar oleh protokol, dua orang maju menuju arah Barat. Keduanya melekatkan kedua jari tangan ke telinga masing-masing. “Allahu Akbar, Allahu Akbar”….. rupanya mereka mendapat tugas azan. Duet azan ini terus berkumandang sampai lantunan lafaz azan terakhir.
Setelah azan selesai, keduanya duduk kembali ke tempat semula. Beberapa pemuda mulai membagikan kitab Yasiin kepada seluruh yang hadir. Imam mesjid yang memimpin bacaan yasin memandu hadirin dari awal sampai akhir. Bacaan Yasiin selesai dilanjutkan dengan Takhtim, Tahlil, dan diakhiri dengan do’a. Semua nampak khidmat sejak azan hingga do’a. Pembacaan do’a selesai, maka kaum ibu yang dari tadi telah membawa panganan nasi berserta lauk pauknya ditambah dengan makanan ringan (Juadah) mulai mendistribusikannya ke dalam piring yang juga telah mereka bawa dari rumah.
Pemuda-pemuda yang siap siaga melaksanakan tugasnya dalam membagikan makanan itu secara merata ke seluruh hadirin. Semua sajian telah siap dan lengkap, pembawa acara mempersilahkan hadirin untuk menyantapnya. Sambil berkelakar senang dan penuh persaudaraan semua riang gembira diselai dengan gelak tawa. Kaum ibu dengan senang hati tampak dari raut wajah mereka melihat hasil masakan mereka dinikmati bersama. Mereka ikhlas mempersiapkan hidangan tanpa memperhitungkan berap biaya yang harus dirogoh untuk membeli bahan-bahan makanan. Ada gulai ayam, gulai ikan, sayur ubi tumbuk, goreng balado, dan bermacam kue basah lainnya.
Setelah semua acara rampung, maka dua orang yang tadi melantunkan azan kembali meyuarakan azan sebagai azan penutup. Setelah itu, acara disambut dengan pidato. Saya yang diminta untuk menyampaikan pidato sambutan mewakili masyarakat setempat. Sapaan penghormatanpun diucapkan sebab turut hadir dalam acara itu Camat, Kapolsek, Danramil, dan tokoh masyarakat setempat.
Itulah rentetan acara “Tulak Bala” yang tadi dilaksanakan….




Beberapa Kajian Tentang “Tulak Bala”.   

1.   Makna “Tulak Bala” versi Bahasa.
Tulak Bala terdiri atas dua kata, yakni; Tulak mengandung arti “tolak”. Dalam bahasa Indonesia: sorong, dorong, (KBBI, 2005: 1203) menepis, mendorong, tidak mau menerima. Bala mengandung arti: malapetakan, kemalangan, cobaan (KBBI, 2005:95) musibah yang menimpa, balasan atas perbuatan tidak baikn atau kejadian buruk yang tidak dikehendaki. Jadi kalau diartikan secara bebas, maka “Tulak Bala” itu mengandung arti: menolak atau menepis setiap musibah atau kejadian buruk yang tidak dikehendaki akan menimpa diri.
Secara kasat makna Tulak Bala yang banyak difahami adalah menolak bala atau musibah yang akan ditakdirkan oleh Allah SWT. Sehingga dari definisi yang mentah ini banyak menimbulkan berbagai asumsi menjurus kepada bentuk penolakan atas takdir yang telah ditentukan-Nya. Seolah-olah kegiatan tradisi “Tolak Bala” adalah rutinitas sekelompok orang yang bersama-sama menolak bala yang akan diturunkan bagi manusia. Dampak dari pengertian ini, bermunculanlah anggapan yang menolak tradisi ini.
Anggapan ini bukan tidak berdasar, harus diakui bahwa Allah SWT Maha Tahu dan Maha Berkehendak atas segala apa yang diinginkannya. “Kun Fayakun”  (Q.S. Yaasiin: 82). Tidak seorangpun sanggup untuk menolak setiap takdir yang telah ditetapkan Allah SWT. Dengan dasar ini maka anggapan “Tulak Bala”  dinisbahkan dengan menolak takdir Allah (Q.S. Al-Hadid: 22).

2.   Memaknai hakikat “Tulak Bala
Mengulas tradisi ini, ada beberapa unsur kajian yang harus didudukkan secara proporsional. Unsur-unsur itu berangkat dari beberapa pertanyaan: apa tujuan (niat) dari tradisi ini? Apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini? Dimana tempat dilaksanakannya tradisi ini? Siapa saja yang melaksanakan tradisi ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, yang pertama adalah apa tujuan kegiatan itu? jawabnya tentu bertolak dari niat. Berpedoman kepada hadis “Innamal a’malu bin niyyat”. Dalam kajian Islam, niat merupakan kunci utama diterimanya ibadah seseorang. Kalau niatnya baik dan ditujukan untuk kebaikan, maka nilai pahala yang akan didapat, jika niatnya tidak baik dan akan mendatangkan kerusakan maka dosa yang akan diperoleh. Jadi apa yang menjadi niat tradisi “Tulak Bala” itu? Mari pahami Q.S. Arrum: 41  yang menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di darat dan dilaut adalah akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Ini mengandung makna bahwa manusialah penyebab yang menjadikan berbagai kerusakan  terjadi. Erosi, banjir, kebakaran, hama, dan berbagai peristiwa lainnya adalah akibat ketidak seriusan manusia dalam melestarikan alam (Q.S. Al-Baqarah: 30). Manusia tidak mau memperbaiki diri atas nikmat yang diberikan Allah lewat fasilitas alam sebagai sumber kehidupannya. Yang mengundang peristiwa itu adalah perbuatan manusia itu sendiri. Maka dari itu hakikat tradisi “Tulak Bala” ada mengandung tiga unsur; yakni pertama, menolak diri (berdamai dengan diri sendiri) untuk tidak melakukan perbuatan yang akan merugikan diri dan alam. Kedua, menolak diri untuk tidak melakukan perbuatan yang akan merusak hubungan dengan sesama manusia (berdamai dengan sesama). Ketiga, menolak diri untuk tidak melakukan perbuatan yang merusak alam sekitarnya dimana dia berada dan dimana tempat dia mencari nafkah (berdamai dengan alam). Jadi hakikatnya “Tulak Bala” adalah menolak diri dari keburukan bagi diri, manusia lainnya dan alam serta mendekatkan diri dengan Sang Khaliq agar terjalin hablun minallah dan hablun minannas (Q.S. Ali Imran: 103).
Pertanyaan yang kedua adalah, apa saja kegiatan yang dilakukan dalam tradisi “Tulak Bala” ini? Pada awal tulisan ini telah diuraikan kegiatan yang dilakukan mulai dari awal hingga selesainya kegiatan. Dimulai dengan azan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan ditutup dengan do’a. Mengapa harus azan? Kebiasaan yang apabila terjadi sesuatu yang dahsyat dan membahayakan dalam bentuk kejadian besar seperti banjir, kebakaran, longsor besar, maka hadapilah dengan azan. Azan itu adalah kalimat thayyibah yang mengajak kepada shalat. Apabila terjadi sesuatu yang membuat kita susah, maka shalatlah (Q.S. Al Baqarah: 45).
Kegiatan lain dalam tradisi ini adalah membaca surat Yassin yang merupakan bacaan yang rutin dibaca umat Islam. Membaca Al-Qur’an selain ibadah juga memberikan ketenangan jiwa apalagi secara bersama-sama (Q.S. Al Qiyamah: 18 dan Q.S. Al-A’raf: 204). Diakhiri dengan do’a sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT (Q.S. Al Baqarah: 186). Selaku hamba Allah SWT yang dhaif pertolongan Allah SWT salah satu jalan mutlak sebab Dia-lah yang disembah. (Q.S. Al-Fatihah: 4).
Untuk pertanyaan ketiga adalah dimana kegiatan tradisi “Tulak Bala” ini dilaksanakan? Jawabannya adalah kegiatan ini dilaksanakan di tepi pantai. Mengapa harus di tepi pantai? Untuk menjawab pertanyaan ini mari simak ayat Q.S. Arrum: 41 yang menyatakan bahwa keruskan di darat dan di laut atas perbuatan tangan manusia itu sendiri. Memahami ayat ini pantai yang bersih dijadikan tempat sebagai tempat yang tepat. Ada dua alasan yang menjadi landasan utama mengapa di pantai. Pertama, tradisi ini banyak dilakukan masyarkat pesisir pantai yang bernata pencaharian nelayan hidup dari hasil laut. Artinya, Apa yang menjadi sumber mata pencaharian harus dicintai agar bisa menyatu dengan diri sehingga kedekatan diri dengan alam menjadi sebuah semangat dalam bekerja. Tapi meskipun demikian tetap menomorsatukan Sang Pencipta alam itu sendiri.(Q.S. Al-Jum’ah: 10). Kedua, berjamaah dalam melaksanakan sebuah kegiatan yang baik tentu memberikan semangat dan kebersamaan. Ukhuwah Islamiyah menjadi sarana utama dalam menciptakan iklim kehidupan (Q.S. Al-Hujarat: 10). Disinilah terbentuk kerukunan dalam bermasyarakat (Q.S. Ali Imran: 103) yang diikat dengan hablun minallah dan hablun minannas saling berbagi, saling memberi atas segala kucuran rezki yang diberikan Allah SWT. Alam ini diciptakan Allah SWT sebagai sarana untuk beribadah, bekerja, belajar, hingga manusia menyelesaikan tugasnya di muka bumi ini.
Pertanyaan yang ketiga adalah: siapa saja yang melaksanakan “Tulak Bala” ini?  Yang ikut dalam pelaksanaan tradisi ini adalah muslim. Dan tradisi ini hanya ada di wilayah pesisir pantai yang beragama Islam. Yang bukan Islam tidak dibenrkan mengikuti kegiatan ini. Sebab penekanan dalam tradisi ini adalah sekaligus saling mengingatkan agar tetap beriman kepada Allah SWT dan tetap berpegang teguh atas ibadah Islam (Q.S.Ali Imran: 102).

3.   Filosofis Tradisi “Tulak Bala
Sejarah tradisi “Tulak Bala” sudah dilaksanakan secara turun temuurun dari generasi ke generasi apalagi daerah pesisir pantai. Dari demografisnya kalau dilihat dari kebiasaan masyarakat mulai daerah Aceh, pantai Barat Sumatera Utara hingga Sumatera Barat merupakan wilayah yang mempunyai tradisi yang sama baik adat istiadat, pakaian adat hingga kegiatan keagamaan. Tentu saja adat kebiasaan ini tidak terjadi dengan sendirinya. Pasti ada berbagai landasan berfikir untuk menciptakan sebuah kegiatan. Kehidupan yang bersandar kepada laut sebagai pokok mata pencaharian harus dilestarikan. Sama halnya dengan petani yang pokok mata pencahariannya harus melestarikan sawah atau kebunnya. Pedagang juga demikian, harus melestarikan pabrik, kedai, toko, dan perusahaannya agar tetap menjiwa dan dekat secara psikologis.
Apabila tidak menjiwai pekerjaan dan tempat kerja, maka tentu usaha tidak maksimal. “Jiwai dan dekatkanlah dirimu akan pekerjaan nisacaya kamu akan mencintai pekerjaanmu, dan kamu akan konsisten dalam bekerja.” Mengapa orang bisa ahli dan faham dengan kondisi laut? Tentu karena menjiwai gejala-gejala laut. Kapan angin Barat berhembus, membaca letak bintang, kapan bulan purnama, dan kapan musim pasang surut. Ini bisa difahami apabila menjiwai kondisi alam.
Alam ini diciptakan untuk manusia. Namun apabila alam tidak dikelola dengan baik bisa saja alam ikut memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan hidup manusia. Dekatilah alam dengan penjiwaan berlandaskan keimanan kepada Sang Pencipta alam yakni Allah SWT dalam bentuk syukur harta, syukur perbuatan, syukur nikmat niscaya Allah SWT akan menambah nikmat itu (Q.S. Al-A;raf: 17).
Namun perlu diingat hanya kepada Allah SWT bukan kepada manusia, bukan kepada harta, dan bukan kepada alam tujuan permintaan manusia.
Terakhir, “Tulak Bala” adalah kearifan lokal yang harus dan tetap dilestarikan.   

                                                                                              Barus, Kota Bertuah, Rabu 15 Nov’ 2017.            

Jumat, 03 November 2017

MARS STIT HASIBA

Mars STIT HASIBA
Cipt. DR. Abdusima Nasution, MA


Di bibir pantai Tapanuli Tengah
kota Barus kota bertuah
STIT HASIBA kokoh dan megah
pencetak insan ilmiah

Hamzah alfansyuri nama institusi 
ulama Islam nan abdi
Derap langkah tanamkan nilai Islami
Sinari ilmu insani di nusantar ini
Mengejar prestasi demi kualitas diri

Reff:

STIT HASIBA… STIT HASIBA…STIT HASIBA…..
Majulah…. Runtuhkan kejahilan
Majulah…. Bangkit dan robohkan halangan menghadang
Di tanganmulah kemajuan nan cemerlang
Agar pendidikan Islam jaya di masa datang

STIT HASIBA….STIT HASIBA….STIT HASIBA…

Majulah….Singsingkan lengan bajumu
Majulah…..Lebarkan sayap ilmumu
Agar hidup menjadi maju
Tuk dunia dan akhiratmu




HYMNE STIT HASIBA
Cipt. DR. Abdusima Nasution, MA


Indonesia bumi persada
Terhampar luas dari sabang sampai merauke
Ratusan bahkan ribuan lembaga pendidikan yang ada
Salah satunya lembaga STIT HASIBA

Cahayamu laksana mentari menyinari bumi
Kesejukanmu mengalahkan butiran embun di pagi hari
Dirimu hadir tuk hidupkan wawasan anak bangsa
Menjaga martabat penyedap sukma


Reff:

Jiwa yang gersang, hati yang rapuh
Rasa haus yang membelenggu akal dan fikiran
Seiring waktu, terpenuhi dengan tetesan air matamu
S’hingga rumput menghijau tumbuh memukau


Semoga karya baktimu kini dan esok
Tercatat nama dalam kenangan elok
Tertitip rindu dalam do’a untukmu
Mekarlah Duhai harapan bangsaku













SEMINAR PENDIDIKAN ISLAM
“Program Studi Berbasis Masyarakat: Terobosan Program dan Tantangan.”
Oleh:
Dr. Abdusima Nasution, MA
(Ketua Program Studi PAI – STIT HASIBA)











Disampaikan Pada Seminar Internal dalam Rangka Dies Natalis Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Hamzah Alfansuri Sibolga Barus  Ke- XVI
di Kampus  STIT HASIBA BARUS
Maret, 2017











       

A.    Pendahuluan
Memasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tetapi semua jalur dan jenjang pendidikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa kementerian teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh kementerian terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses hasil dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan memengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[1]
Pendidikan menjadi wahana paling krusial dalam memberdayakan manusia post era modernitas.[2] Reformasi pendidikan tidak hanya cukup dengan perubahan dari sektor kurikulum maupun perumusan prosedur saja, namun menyahuti kebutuhan masyarakat yang terintegrasi dalam program yang dilaksanakan. Pengintegrasian program pendidikan dengan pengabdian kepada masyarakat agar peserta didik memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang bergerak dinamis tentunya memiliki visi misi yang jelas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk memberikan perbaikan individual, institusi dan juga masyarakat. Meskipun perguruan tinggi itu merupakan globalize unit form, namun pada tataran miniaturnya dijalankan oleh program studi. Besarnya sebuah perguruan tinggi akan beranjak menuju kualitas diri manakala program studi yang ada di dalamnya berjibaku untuk meningkatkan pendidikannya. Sehingga, program studi yang ada di perguruan tinggi tersebut menjadi tumpuan harapan dalam derap langkah perubahan kualitasnya ke arah yang lebih baik dan maksimal.
Semua perguruan tinggi harus mempersiapkan mahasiswanya dengan berbagai pengalaman, wawasan, keterampilan serta basis keilmuan yang memadai. Perguruan tinggi bukanlah sebuah formalitas untuk memiliki ijazah, tetapi justru adalah proses penguatan kompetensi. Keluaran pendidikan harus memiliki kompetensi yang memadai sesuai jenjang dan basis keahlian atau keterampilannya. Untuk itulah, reformasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, dengan perbaikan menyeluruh dalam semua aspeknya, agar dapat menghasilkan lulusan yang cerdas, kompetitif dan memiliki daya saing yang tinggi di pasar tenaga kerja, dalam level dan jenis apapun profesinya.[3]
Sementara itu, masyarakat adalah kontributor, konsumen, dan unsur yang akan memberikan penilaian terhadap perguruan tinggi. Sehingga, masyarakat pada hakikatnya mempunyai andil besar dalam membesarkan dan melaksanakan operasional pendidikan tinggi tersebut. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga perguruan tinggi harus mampu memberikan yang terbaik melalui program studi kepada masyarakat konstuentnya secara fair, karena mereka adalah juga staceholder-nya dan sekaligus client dari lembaga pendidikan tersebut. Pendidikan berbasis masyarakat juga identik dengan pendidikan demokratis dengan konotasi maknanya. Dalam istilah demokratis sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, demokratis terdiri dari dua kata, yaitu demos yang artinya bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasan, dan apabila digabungkan bermakna kekuasan di tangan rakyat.  Kalau dalam bahasa politiknya bagi pemerintahan bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara dalam bahasa pendidikannya bagi  masyarakat  mempunyai makna pendidikan itu dari masyarakat, oleh masyarat, dan untuk masyarakat. Dalam makalah ini akan dipaparkan berbagai hal yang menjadi topik kajian berkaitan dengan program studi berbasis masyarakat. Uraian pembahasan ini akan dikaji melalui dinamika program studi baik dari aspek kuantitas dan kualitas perjalanannya maupun sepak terjangnya dalam dunia akademik. Pembahasan selanjutnya akan diketengahkan terkait dengan konsep dan kebutuhan masyarakat yang diharapkan dari hasil  sebuah program studi selaku pemakai (consumen education). Dan dilanjutkan dengan terobosan-terobosan yang telah dan akan dilaksanakan oleh program studi bersama tantangan yang menjadi solusi kebijakan.
B.     Dinamika  Pendidikan Tinggi Islam
Visi pendidikan Islam yang diaplikasikan oleh rasulullah Saw sesungguhnya melekat pada cita-cita dan tujuan jangka panjang ajaran Islam itu sendiri, yaitu mewujudkan rahmat bagi seluruh manusia[4] (lihat. QS, Al-Anbiya’: 107).Pendidikan Islam dalam arti luas mencakup kegiatan dakwah Islam, yaitu usaha untuk mengadakan perobahan dalam sikap hidup, pengetahuan, dan keterampilan.[5] Perobahan-perobahan itu diharapkan mampu mewarnai sisi-sisi kehidupan muslim, baik pelajar dan juga masyarakat.  Dipilihnya lembaga pendidikan tinggi Islam ini dikarenakan lembaga ini merupakan salah satu bentuk lembaga yang mengembangkan berbagai studi keilmuan tentang Islam, disamping itu juga merupakan lembaga pendidikan yang produk almuninya secara langsung berkaitan dengan  pemenuhan kebutuhan masyarakat muslim sebagai pembimbing kehdiupan beragama. Selain itu perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan tinggi lebih dapat mencerminkan sifat dinamis dalam pendidikan Islam itu sendiri.[6]
Dari sudut kajian sejarah, ide pendidikan tinggi Islam di Sumatera terjadi pertama sekali di Padang pada tahun 1940 dengan nama Sekolah Tinggi Islam yang dirintis oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang dipimpin oleh Mahmud Yunus.[7] Kemudian dialnjutkanlah di kota-kota lainnya di Indonesia baik di Jawa maupun luar Jawa. Dalam perkembangan selanjutnya hingga saat ini dapat dilihat sebagai berikut berdasarkan data Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Agama RI sebagai berikut:


Jumlah Mahasiswa PTKI se Indonesia 747.686 (Data Emis TA 2015/2016)[8]
            Data yang ditampilkan di atas, maka menjadi sebuah kebanggaan bagi pendidikan tinggi Islam dengan peningkatan kuantitas dari jumlah lembaga dan mahasiswa dari tahun ke tahun.   Menurut pemaparan Menteri Agama RI  Lukman Saifuddin, bahwa Indonesia merupakan negara yang terbanyak lembaga Pendidikan Tinggi Islamnya di dunia. Dengan penajabaran Mesir sebanyak 55 PT, Arab Saudi sebanyak 60 PT, Malaysia sebanyak 35 PT, sementara Indonesia mencapai 699 PT.[9]
            Tentunya, pertumbuhan dan perkembangan ini berbanding lurus dengan peningkatan kualitas dari berbagai aspeknya. Pemerintah dan masyarakat baik nasional, daerah, dan juga masyarakat yang berada di lingkungan berharap banyak akan adanya perobahan kultur budaya Islam yang positif dengan terus berkembangnya lembaga pendidikan tinggi Islam ini.


C.    Masyarakat Publik Sebagai Konsumen  PTAI
            Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan Islam (PTKI) merupakan lembaga pendidikan yang banyak diharapkan memberi warna perubahan (colour of change)  positif ke depan terkait dengan visi misi yang diembannya.       Perbaikan-perbaikan yang akan dirasakan dengan keberadaan dan pertumbuhan perguruan tinggi idealnya mampu ditampilkan secara konkrit bukan teoritis. Setidaknya PTKI itu melalui Program Studi akan memberikan dampak positif bagi mahasiswa, masyarakat lokal, masyarakat luas, budaya, dan agama. Seperti ditampilkan dalam gambar berikut:
           
           
            Perguruan Tinggi = Lembaga Pendidikan Tinggi Islam itu sendiri
            Prodi                    = Program Studi yang di bawah instusi PTKI
            Mahasiswa           = Mahasiswa yang tercatat di PTKI
            Masyarakat Lokal= Keluarga dekat Mahasiswa (Orang tua/Saudara)
            Masyarakat Luas  = Lingkungan Masyarakat di PTKI
            Budaya                 = Iklim Kehidupan Masyarakat
            Agama                  = Ummat Islam secara keseluruhan
            Baru-baru ini,  Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam mencetuskan sebuah program langkah konkrit baru dalam menyiasati dan melejitkan profesionalitas lembaga pendidikan tinggi Islam dengan sebuah gerakan “Program Studi Berbasis Masyarakat.” Program ini bertujuan agar terjalinnya koneksitas antara perguruan tinggi Islam dengan masyarakat dimana perguruan tinggi Islam itu berada. Dengan adanya program ini menjadi sebuah model baru supaya masyarakat merasakan langsung kinerja dan hasil perguruan tinggi Islam itu.
            Dalam program “Program Studi Berbasis Masyarakat” ini diharapkan agar lembaga pendidikan tinggi Islam itu menciptakan program kegiatan melalui program studi yang ada untuk memberdayakan masyarakat khusus berkaitan dengan peningkatan bagi masyarakat baik secara ekonomi, ibadah, moral, bahasa, dan dakwah. Lembaga pendidikan tinggi Islam itu merancang program baru sesuai dengan program studi yang dimiliki. Misalkan Prodi Bahasa Arab membuat program dengan menjadikan masyarakat  yang berada di lingkungan perguruan tinggi Islam itu membudayakan berbahasa Arab dalam kesehariannya. Tentunya, mahasiswa Prodi Bahasa Arablah yang bertanggung jawab atas terlaksana dan kesuksesan program berbasis masyarakat tersebut.
            Misalkan lagi program studi Pendidikan Agama Islam berkewajiban membuat program dengan lingkungan masyarakat memberdayakan sekaligus membudayakan mesjid, ibadah, dan juga dakwah. Kelancaran dan suksesnya program ini merupakan tanggung jawab dari prodi PAI. Program-program itu disesuaikan dengan visi misi prodi yang ada di lembaga pendidikan tinggi Islam itu sehingga masyarakat bisa merasakan kehadiran perguruan tinggi Islam itu mewarnai sendi-sendi kehidupan masyarakat.
            Menyikapi himbauan dan harapan ini kekuatannya ada di tangan mahasiswa yang dikordinir langsung oleh perguruan tinggi Islam itu melalui program studi. Bisa saja lembaga pendidikan tinggi Islam itu melakukan kordinasi langsung dengan instansi terkait seperti pemerintah setempat atau lembaga kementerian agama. Yang jelas, masyarakat harus menjadi bahan kajian ilmiah melalui penelitiannya sebagai objek dari program itu. Pihak perguruan tinggi Islam terlebih dahulu mengobservasi sekaligus menganalisis apa yang menjadi prioritas utama dalam program yang akan dilaksanakan.

D.    Efektifitas dan Sinerjitas Terobosan Program Studi
            Prof. Mulyadi Kertanegara melontarkan sebuah ungkapan yang sangat menghentak pemikiran kita, beliau mengatakan, “ Indonesia dikenal pada saat ini sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tetapi anehnya tak seorangpun merasa gentar atau menaruh hormat dengan kebesaran jumlah tersebut, karena nampaknya ia kosong dari substansi. Tak heran kalau ada orang yang bilang bahwa kita adalah raksasa yang sedang tidur (the sleeping giant). Sekalipun besar, raksasa yang sedang tidur tidak akan memberikan pengaruh apa-apa, meskipun tentunya punya potensi besar kalau kita sanggup membangunkannya.”[10]
            Ungkapan ini tentunya menjadi renungan bagi seluruh umat Islam terlebih-lebih lembaga pendidikan Islam termasuk Perguruan Tinggi Islam. Hakikinya tanggung jawab besar salah satunya terletak di tangan  perguruan tinggi Islam untuk menyikapi dan men-delet tuduhan itu. Perguruan tinggi Islam sebagai tumpuan untuk membangkitkan kembali sekaligus motor penggerak perubahan (agen of change) dimanapun perguruan tinggi itu berada. Untuk itu setiap perguruan tinggi Islam wajib melakukan terobosan-terobosan yang terencana dalam menumbuhkembangkan sikap peka terhadap perubahan itu terutama bagi insan akademik, masyarakat, juga pemerintahan.
            Dalam menyikapi dan menerobos ke arah kemajuan itu, maka beberapa hal yang akan  ditawarkan melalui beberapa opsi-opsi yang menjadi sasaran pokok bagi perguruan tinggi Islam melalui program studi, yakni:
1.      Bidang Ibadah
      Sebaiknya perguruan tinggi harus mengedepankan terlaksananya ibadah yang dimotori oleh perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat. Banyak hal yang menjadi prioritas utama yang harus dilakukan dari aspek ibadah ini, seperti: (1) kreatifitas mahasiswa menghidupkan serta menggerakkan masyarakat untuk cinta ibadah. Sebaiknya mahasiswa Islam yang selalu menjunjung tinggi tri dharma perguruan tinggi aktif secara langsung (activ direct) mengisi kegiatan ibadah di masyarakat. Mesjid-mesjid yang ada di sekitar lingkungan kampus dan masyarakat idealnya menjadi prioritas utama. (2) Pihak perguruan tinggi, hendaknya memfasilitasi  program ini dengan menerbitkan ketentuan yang berkaitan dengan nilai akademik yang harus dicapai mahasiswa dalam bentuk SKEK (Satuan Kredit Ekstra Kurikuler) di luar kampus. (3)  Memberikan tindakan akademik bagi mahasiswa yang belum dan tidak pernah melaksanakan kegiatan SKEK sehingga mahasiswa bertanggung jawab atas ketersahutan program yang dimaksud. 
2.      Bidang Ilmiah
      Kajian-kajian ilmiah yang menjadi menu dalam tradisi perkuliahan melalui mata kuliah  yang bersifat penelitian hendaknya langsung diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat guna menjadi objek kajian. Tentunya kajian ilmiah itu berkaitan dengan keislaman dan pendidikan yang nantinya akan dijadikan barometer dalam mengambil langkah ke depan dan juga memberikan solusi (solving) terhadap permasalahan yang ada. Selain dijadikan mini research,  juga akan mendongkrak kualitas dan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Kajian-kajian yang dijadikan objek penelitian itu seperti: (1) Kultur Budaya Islam setempat, (2) Tinggi/Rendahnya minat siswa melanjut ke perguruan tinggi, (3) Tinggi/Rendahnya kesadaran beribadah, (4) Penyakit Masyarakat, dan (4) Kenakalan Remaja.
3.      Bidang Muamalah
      Sosial kemasyarakatan harus juga menjadi salah satu skala prioritas yang harus disoroti. Kepekaan perguruan tinggi dan insan akademik sangat dibutuhkan oleh konsumen (masyarakat). Perguruan tinggi Islam mestinya selalu tetap menjalin komunikasi yang baik (mu’amalah bil ma’ruf). Berbagai kegiatan sosial yang terjadi di tengah-tengah komunitas muslim hendaknya disikapi dan dimotori sehingga masyarakat merasakan keberadaan perguruan tinggi itu sendiri. Banyak hal yang bisa dijadikan kegiatan sosial, seperti: (1) Perayaan Hari Besar Islam, (2) Penyuluhan Fardhu Kifayah, dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.

       Guna mensinerjikan iklim dan budaya akademik sekaligus melejitkan kualitas mahasiswa sebagai insan akademik, maka hal yang harus menjadi tantangan adalah manajerialisasi seluruh komponen lembaga pendidikan tinggi. Membangun kerjasama (cooperative building) antar seluruh stockholder sebagai implementor, pembuat kebijakan, serta kesiapan finansial berikut aturan yang ditetapkan oleh lembaga perguruan tinggi. Sehingga melejitkan budaya akademik yang berhasil dan tepat sasaran akan menghantarkan perguruan tinggi  ke kualitas yang diharapkan (high quality) dan menjadikan perguruan tinggi terkenal baik nasional apaladi internasional.
















Daftar Pustaka

Darwis, Djamaluddin. Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan. Semarang:Rasail, 2006.

Fauzi, Imron. Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah. Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012.

Kartanegara, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan, 2006.

Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013.

Syafaruddin. Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009.

Webset Dirjen Diktis Kemenag RI.




[1] Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 1.
[2] Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam Melejitkan Potensi Budaya Umat (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), h. 13.
[3] Ibid., h. 9.
[4] Imron Fauzi, Manajemen Pendidikan Ala Rasulullah (Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012), h. 94.
[5] Djamaluddin Darwis, Dinamika Pendidikan Islam: Sejarah Ragam dan Kelembagaan (Semarang:Rasail, 2006), h. 21.
[6] Ibid., h. 22.
[7] Ibid., h. 4.
[8] Data-data yang ditampilkan diambil dari Data Dirjen Diktis Kemenag RI.
[9] Dalam Kuliah Umum dan Pembukaan Rapat Kerja IAIN Manado pada tanggal 08 April 2015.
[10] Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006), h. 1.